Sabtu, 19 Januari 2008

sejarah

Prisma Natsir dan Ketidakadilan Sejarah

Katagori : Sejarah
Oleh : Redaksi 19 Jul 2003 - 1:25 pm

(Mengenang 95 Tahun Mohammad Natsir)
Oleh : Israr

Di era reformasi, sejumlah kalangan sejarawan dan intelektual kembali
mengingatkan perihal kecenderungan bangsa Indonesia yang terus memupuk
dendam sejarah. Pemupukan dan pewarisan dendam sejarah itu dianggap
berbahaya, karena anak bangsa atau generasi penerus tidak akan pernah
dapat memetik hikmah dan kearifan dari peristiwa masa lalu untuk
kegunaan masa kini dan masa depan.

Karena itu, "rekonsiliasi sejarah" mendesak untuk dilakukan oleh
bangsa Indonesia. Upaya ini merujuk kepada pengertian bahwa anak
bangsa mesti dapat melihat kembali sejarah bangsanya secara jernih,
jujur, adil, dan objektif, sesuai dengan "standar" akademis. Usaha itu
pertama-tama tentu dapat dilakukan melalui rekonstruksi sejarah yang
selama ini dianggap lebih banyak menurut selera penguasa. Ikhtiar lain
berupa penghargaan yang proporsional terhadap tokoh-tokoh pelaku
sejarah yang telah berjasa kepada bangsa dan kemanusiaan.

Mohammad Natsir (1908-1993) adalah salah satu founding father Republik
Indonesia yang hingga kini dinilai belum mendapatkan penghargaan yang
layak dari bangsanya sendiri. Dalam sejarah nasional posisinya pun
masih "kabur". Keadaan itu telah berlangsung sejak era Orde Baru dan
berlanjut hingga era reformasi ini.

Padahal jasa-jasa mantan Perdana Menteri RI setelah kembali ke negara
kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara. Pada
momentum 95 tahun Mohammad Natsir sekarang ini, ada baiknya wacana
kesadaran historis itu digugah kembali, agar anak-anak bangsa dapat
memetik hikmah dan kearifan dari sejarah.

Berdasarkan beberapa literatur sejarah, sulit dipungkiri bahwa sosok
Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli
1908 dan wafat di Jakarta, 16 Februari 1993 nampak ibarat sebuah
prisma. Banyak segi dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang
yang digelutinya, dia selalu tampil di garda depan. Sebagai politisi,
ia pernah sampai ke puncak: ketua umum Partai Masyumi, partai politik
Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama setelah kembali ke
negara kesatuan (1950-1951).

Sebagai ulama, ia merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), sebuah lembaga dakwah terkemuka di Tanah Air. Selaku
intelektual, Natsir mungkin seorang ulul-albab: tidak sekadar punya
wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh keprihatinan, memikirkan,
dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi
bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal
sebagai pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun,
jujur, demokratis, dan moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar
hal-hal yang dinilainya sebagai prinsip.

Namun citra positif Natsir tersebut agaknya perlu disosialisasikan
lebih lanjut kepada generasi sekarang dan masa depan. Bagi mereka,
seperti disinggung di muka, Natsir barangkali sudah menjadi sebuah
gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di
sekolah-sekolah, nama Natsir mungkin terletak di lembaran hitam atau
paling tidak kelabu.

Natsir kira-kira diasosiasikan dengan tokoh ekstrem, fundamentalis,
dan sejenisnya - seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka. Di
samping itu, Natsir juga tergambar "kritis" terhadap idiologi
Pancasila, karena dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, ia
merupakan tokoh nomor satu yang memperjuangkan dasar negara Islam.

Natsir bahkan kemudian dicitrakan sebagai "pemberontak" , lantaran di
akhir tahun 1950-an ia "bergabung" dengan gerakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI sendiri tak bisa
serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik setting
sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan
tiap tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui
"bergabung" dengan PRRI lebih belakangan.

Ia semula di Jakarta, tapi karena terus mendapatkan teror dari
antek-antek PKI, ia bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya terpaksa
meninggalkan Ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan Natsir,
seperti dituturkan Kahin dan Kahin (1997:162), sebenarnya tidak banyak
ikut serta dalam proses gerakan yang berujung "perang saudara" itu.
Satu hal penting lagi: Natsir menolak cara-cara konfrontasi untuk
menekan Jakarta.

Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia, di antara tokoh-tokoh
nasional masa lalu juga memiliki "dosa-dosa politik". Sebutlah nama
Sukarno, proklamator dan Presiden RI pertama. Sukarno dianggap
memiliki "dosa-dosa politik", antara lain karena telah mengeluarkan
Dekrit Presiden 1959 yang "melegalisasi" pembubaran Konstituante hasil
Pemilu 1955, memberi ruang hidup kepada PKI, serta memaklumkan
Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan KSAD, juga dianggap
punya dosa-dosa politik, karena ia dinilai telah "mendorong" dan
mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.

Seiring perjalanan waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian
menerima perlakuan tidak pantas dari rezim berkuasa. Sebagian di
antara mereka telah mengalami nasib tragis sejak masa Demokrasi
Terpimpin, khususnya yang "terlibat" PRRI/Permesta atau para penentang
rezim otoriter itu.

Di samping Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan
Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu
"arsitek" PRRI, serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola
perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya. Bahkan
di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga mengalami perlakuan yang tragis
secara personal maupun peran kesejarahannya.

Tetapi seburuk-buruk nasib Sjahrir, ia masih lebih beruntung
dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai pengkhianat negara selama tiga
tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966, tokoh sosialis ini
langsung dianugerahi Pahlawan Nasional.

Sedangkan Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim
Soeharto, nasibnya kelak masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir.
Berbagai atribut dan penghormatan, seperti Pahlawan Nasional telah
disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan nasional itu tercermin
dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno (2001).

Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi.
Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya
sebagai "pemberontak" terhadap Republik tidak pernah secara resmi
direhabilitasi pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain
bersama Sumitro, seakan-akan tetap dianggap sebagai "dosa-dosa
politik" yang tak terampunkan.

Dalam konteks ini, nasib Natsir (plus Sjafruddin Prawiranegara dan
Burhanuddin Harahap) lagi-lagi tidak lebih baik dibandingkan Sumitro.
Buktinya, sejak era Orde Baru, citra sebagai "pemberontak" seakan-akan
tidak lagi melekat pada sang "begawan ekonom" itu.

Sebetulnya upaya mendesak pemerintah merehabilitasi nama Natsir cs
telah dilakukan sejak masa Orde Baru, tapi selalu gagal. Bahkan yang
diterima Natsir bukannya rehabilitasi nama baik, tetapi justru
pelbagai kesulitan pribadi dan kelembagaan. Soeharto memang tidak
seperti Sukarno yang pernah memenjara Natsir selama tiga tahun tetapi
rezim militeristik ini telah pula memperlakukan Natsir secara tidak
adil.

Di antaranya pencekalan ke luar negeri. Ini kondisi yang ironis
sekali. Padahal di luar negeri kredibilitasnya dihormati. Posisi
Natsir sebagai salah satu pemimpin terkemuka dunia Islam cukup
mengharumkan nama bangsa. Tidak hanya itu, di belakang layar, Natsir
sebenarnya berjasa membantu pemerintah Orde Baru menjalin kontak
dengan beberapa negara donatur, seperti Jepang dan negara-negara Timur
Tengah.

Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan
pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena Natsir tokoh pelopor Mosi
Integral yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara
kesatuan diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin
Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.

Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga tokoh
Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud.
Sampai pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan
Megawati sekarang ini, usulan itu kembali tenggelam dalam hiruk-pikuk
situasi politik nasional.

Pada akhirnya, berbicara sejarah semestinya juga berbicara masalah
keadilan. Diakui, sebagai manusia, tokoh-tokoh besar bangsa di masa
lalu tentu juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Maka, ketika
beberapa tokoh sejarah nasional yang juga pernah memiliki "dosa-dosa
politik" dengan mudah direhabilitasi nama baiknya dan dianugerahi
gelar pahlawan, kenapa ada tokoh yang lain diperlakukan tidak sama.

Diktum bahwa "sejarah dikuasai oleh mereka yang berkuasa", agaknya
kurang cocok dalam semangat "rekonsiliasi" yang banyak dianjurkan
kalangan cendekiawan dewasa ini. Diktum itu harus ditinggalkan, agar
sejarah tidak lagi mewariskan dendam, melainkan memberikan hikmah dan
kearifan kepada kita bagi masa depan bangsa.

Peneliti sejarah dan politik CIRUS, Jakarta
Republika

__._,_.___

fitofarmaka

INDUSTRI JAMU, ANTARA IPTEK , CITRA &'JAMU KIMIA' PDF Cetak

Sedangkan obat herbal terstandar adalah yang memenuhi kriteria aman, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan dalam produk jadi, memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Kategori terakhir adalah fitofarmaka dengan persyaratan aman, klaim khasiat berdasarkan uji klinis, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Saat ini, dari ribuan produk obat alami yang beredar di pasaran, baru lima sediaan yang masuk kategori fitofarmaka, dan sekitar 17 produk obat herbal terstandar yang telah diregistrasi oleh BPOM awal tahun lalu. Nama produk-produk fitofarmaka a.l. Nodia, Rheumaneer, Stimuno, Tensigarp Agromed, dan X-Gra. Sedangkan produk herbal berstandar a.l. Diabmeneer, Diapet, Fitogaster, Fitolac, Glucogarp, Ho Stimuno, Irex Max, Kiranti Pegal Linu, Kiranti Sehat Datang Bulan, Kuat Segar (Chang Sheuw Tian Ran Ling Yao), Lelap, Prisidii, Reumakur, Sehat Tubuh (Tian Ran Ling You), Songgolangit, Stop Diar Plus dan Virugon. Ada satu hal yang menarik, dari lima perusahaan yang produknya telah mencapai tahapan fitofarmaka, ternyata hanya satu produk yang dibuat oleh pabrikan jamu yaitu Nyonya Meneer dengan memakai merek Rheumaneer.

Sisanya dibuat oleh perusahaan farmasi. Sangat sedikitnya perusahaan jamu yang berhasil membuat produk herbal dengan klasifikasi fitofarmaka, lebih disebabkan karena untuk mencapai tahapan itu dibutuhkan modal sangat besar. Karena itu, wajarlah jika pabrikan farmasi yang memang punya dana riset dan teknologi lebih kuat memiliki kemampuan lebih besar untuk menghasilkan obat katagori fitofarmaka. Hingga saat ini aspek pendanaan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dimiliki, masih menjadi kendala utama industri jamu dalam memproduksi obat fitofarmaka.

Atas dasar itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) khususnya pusat farmasi dan medika memiliki komitmen yang kuat untuk ikut terlibat dalam mengembangkan sektor ini. Pengembangan industri obat-obatan merupakan salah satu dari enam program kerja dari Kementrian Riset dan Teknologi (KRT) yang tertuang dalam enam bidang bidang Risteknas. BPPT telah menyelesaikan dua jenis obat yang berbasis bahan baku alami dengan indikasi kuat sebagai fitoestrogen yang berfungsi untuk membantu penyesuaian tubuh dan mengurangi gejala karena perubahan hormonal drastis pada masa manopause, dan antikolesterol. Perlu sinergi Menurut Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Wahono Sumaryono, jika sinergi dari Academician, Business & Government (ABG) dapat diwujudkan, maka pada 2009 mendatang diproyeksikan, Indonesia memiliki sekitar 25 obat alami kategori fitofarmaka dan 50 jenis obat herbal terstandar.

Dengan begitu, maka Indonesia dapat maju bersama-sama dengan negara lain seperti India, dan China yang memiliki basis industri farmasi yang kuat. Kalau mereka bergerak di industri berbasis bahan kimia, maka Indonesia maju dengan obat alami Indonesia. Pemerintah, produsen dan pihak lainnya tidak perlu lagi khawatir bahwa Indonesia akan dijadikan pasar obat alami pada 2010 mendatang, karena industriawan mampu berdiri sejajar dengan negara Asia Tenggara lainnya dengan dukungan Iptek tentunya. Tidak hanya itu saja, pasar di dalam negeri juga akan semakin meningkat, karena sesuai dengan seruan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Menteri Kesehatan, bahwa obat kategori fitofarmaka boleh diresepkan.

Kondisi itu, diperkirakan akan meningkatkan pangsa pasar obat alami, kalau sekarag hanya 10% dari pasar farmasi nasional, maka pada 2009 diproyeksikan mencapai 20% jika konsep ABG itu diterapkan. Pelaksanaan penelitian hingga sekarang masih 90% dilakukan oleh pemerintah, sedangkan sisanya industri. Tidak adanya, stimulus dari pemerintah dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal bagi industri yang melakukan riset, membuat mereka [industriawan] enggan untuk melakukannya. (rahayuningsih@bisnis.co.id) Sumber : Bisnis Indonesia (1/9/05) ***

sinisitis

Manajemen Multiaspek Sinusitis Kronik
Print this article Email this article to friend
RACIKAN UTAMA - Edisi Juni 2006 (Vol.5 No.11), oleh daniel

Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai dalang patogenesisi sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan juga.

Jangan sepelekan pilek yang terus menerus. Boleh jadi pilek yang tak kunjung sembuh itu bukan sekadar flu biasa. Menurut Nuty W. Nizar, Sp.THT(K) dari Subbagian Rinologi Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan FKUI RSCM, Jakarta, dalam keadaan ini, selain kecurigaan atopik, perlu dipikirkan juga sinusitis yang bersifat kronis .

Secara umum sinusitis kronik didefinisikan sebagai infeksi sinus paranasal lebih dari tiga bulan. Kondisi ini biasanya memiliki manifestasi klinis yang sangat berbeda dibanding sinusitis akut. Gejala yang biasanya muncul sangat bervariasi: rhinorrhea, post nasal drip, sesak napas (subyektif), nyeri sinus, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk-batuk, eksaserbasi asma, telinga berdengung, telinga sakit, agak tuli, rasa penuh di telinga, bisa juga sangat tidak spesifik fatigue, puyeng, hingga malaise.
Mampet di Rongga Sinus

Terjadinya sinusitis secara kronis tak lepas dari proses inflamasi yang terdapat pada sinus paranasal. Manusia memiliki empat pasang sinus paranasal yang terdiri dari epitel kolumnar semu dengan silia. Di sela-sela epitel tersebut terdapat sel goblet yang terus menjaga kelembaban daerah sinus. Mukosa sinus menempel langsung pada tengkorak yang sering sekali menyebabkan penyebaran infeksi ke daerah orbita dan kompartemen intrakranial. Biasanya penyebaran infeksi ini terjadi pada pasien sinusitis akut yang tidak sempurna pengobatannya.

Sinus paranasal itu sendiri sebenarnya merupakan invaginasi dinding saluran napas ke dalam rongga-rongga tengkorak. Tidak terlalu jelas mengapa bentuk anatomis sinus paranasal seperti ini, namun fungsi yang diketahui hingga saat ini ialah sebagai rongga resonansi dan penyeimbang tekanan udara dalam tubuh. Invaginasi sinus ini terbagi menjadi sinus frontal, maksila, etmoid, dan sfenoid. Daerah sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior bermuara ke dalam hidung melalui kompleks osteomeatal yang terletak lateral dari meatus medial. Sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid membuka menuju meatus superios dan resesus sfenoetmoidal. Sedangkan ostium dari sinus maksila tersambung ke rongga hidung melalui saluran kecil yang dinamakan infundibulum. Saluran ini terletak di bagian tertinggi dari sinus, padahal letak maksila agak sedikit lebih ke bawah dari rongga hidung. Dengan demikan saluran ini melawan gaya gravitasi untuk mengalirkan mukus ke dalam rongga hidung. Lantai sinus maksila pun bersentuhan langsung dengan prosesus alveolaris gigi geligi. Akibatnya, infeksi gigi akan mudah menyebar menuju sinus maksila. Namun jika tidak ada infeksi, biasanya rongga sinus akan tetap steril meskipun terdapat jutaan kuman di dalam rongga hidung.

Nah, sinusitis terjadi jika kompleks osteomeatal di hidung mengalami obstruksi mekanis, baik itu akibat edema mukosa setempat atau akibat berbagai etiologi semisal ISPA atau rhinitis alergi. Keadaan ini membuat statis sekresi mukus di dalam sinus. Stagnasi mukosa ini membentuk media yang nyaman untuk pertumbuhan patogen. Awalnya, terjadi sinusitis akut dengan gejala klasik dan biasanya terdiri dari satu macam bakteri aerob saja. Jika infeksi ini dibiarkan terus-menerus, akan tumbuh pula berbagai flora, organisme anaerob, hingga kadang tumbuh jamur di dalam rongga sinus. Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai dalang patogenesisi sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan juga. Infeksi sinus yang berulang dan persisten dapat terjadi tidak hanya akibat timbunan bakteri, tapi memang dari lahir orang tersebut sudah mengalami imunodefisiensi kongenital atau penyakit lain seperti fibrosis kistik.
Tidak Demam

Di dunia, sinusitis kronik dapat dijumpai hampir di seluruh negara, terutama dengan kadar polusi udara yang relatif tinggi, seperti di Indonesia. Iklim dan kelembaban udara juga memegang peranan penting dalam menyebabkan sinusitis. Di belahan bumi utara, sinusitis biasanya terjadi akibat konsentrasi pollen di udara. Seperti penyakit lainnya, sinusitis yang menjadi kronis akan meningkatkan morbiditas bahkan mortalitas. Penyebaran perkontinuitatum sinusitis mampu mengakibatkan komplikasi hingga menjadi meningitis dan abses otak. Selain itu sinusitis yang kronis juga memicu eksaserbasi asma bagi para pengidapnya.

Diperlukan keterampilan anamnesis yang jeli untuk menegakkan diagnosis sinusitis kronis. Soalnya, tidak seperti sinusitis akut, sinusitis yang kronis jarang ditemui demam dan nyeri ketok sinus paranasal. Pasien biasanya datang karena hidungnya mampet terus-menerus, ingusan yang mengganggu, postnasal drip, sakit kepala, batuk kering terus-menerus, hiposmia, tenggorokan 'gatal', malaise, bersin-bersin tak karuan, asma yang kambuh terus-meneurs, gangguan pendengaran, nggak nafsu makan, pandangan kabur, hingga sakit gigi. Semua ini terjadi karena patofisiologi sinus kronis berkaitan erat dengan struktur anatomi sinus yang melekat ke berbagai organ di sekitarnya.

Ketika diperiksa, masih terdapat rasa tidak nyaman ketika palpasi daerah sinus, terutama maksila dan frontal. Pemeriksaan transiluminasi sinus juga berguna untuk mengetahui kandungan rongga sinus tersebut. Jika diinspeksi ke rongga mulut akan ditemui eritema orofaringeal disertai sekresi purulen, kadang-kadang ada gigi-geligi yang bolong, terutama gigi bagian atas (maksila). Jika memungkinkan untuk dilakukan endoskopi (rhinoskopi) akan ditemui eritema mukosa hidung, edema mukosa, sekresi purulen, obstruksi nasal akibat deviasi septum nasal atau hipertrofi konka, kadang-kadang juga ada polip nasal. Selain itu, inflamasi kronis terutama pada sinus frontal juga tak jarang mendesak duktus lakrimalis sehingga menyebabkan kongesti konjungtiva, lakrimasi, proptosis, hingga kelumpuhan otot motorik mata. Jika infeksi dari sinus maksila sudah menyebar hingga ke rongga orbita, dapat pula terjadi pandangan yang kabur.

Penyebab itu semua sampai saat ini akibat bakteri patogen yang memulai infeksi sinusitis akut, yakni Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, serta Moraxella catarrhalis. Dari endoskopi atau punksi sinus, bakteri tersebut juga sering menyebabkan kelanjutan menjadi sinusitis kronik. Selain itu, pada sinusitis yang kronik terdapat pula flora normal dan beberapa patogen lain, misalnya Staphylococcus aureus, stafilokokus koagulase negatif, Streptococcus viridans, Streptococcus intermedius, Pseudomonas aeruginosa, serta spesies Nocardia dan bakteri anaerob. Sedangkan jamur yang sering ditemukan pada sinusitis kronis ialah spesies Aspergillus, Cryptococcus neoformans, Candida sp., Sporothrix schenkii, dan spesies Alternatia.

Selain akibat ulah kuman-kuman tersebut, sinusitis yang kronik disebabkan oleh obstruksi osteometal yang permanen, alergi, polip, atau status imunodefisiensi. Hal-hal ini memang mengakibatkan overgrowth dan menimbulkan infeksi bakteri sekunder.
Tidak Perlu Kultur

Dewasa ini, mengutip dari berbagai jurnal Amerika dan Eropa, banyak sekali predisposisi sinusitis kronis yang telah diungkap. Bisa akibat abnormalitas kompleks osteomeatal (mis. Deviasi septum, konka bullosa, deviasi prosesus uncinatus, atau Haler cells), rhinitis alergi, polip nasal, rhinitis nonalergi (mis. Rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa, pentalahgunaan kokain). Selain itu, bisa juga ulah dokter setelah intubasi nasogaster, bisa juga akibat hormon seks seperti pubertas, kehamilan, atau kontrasepsi. Obstruksi tumor, fibrosis kistik, kelainan motilitas silia, infeksi saluran napas atas, hingga GERD mampu menjadi faktor predisposisi sinusitis yang kronik. Ditambah satu faktor risiko lagi, yakni polusi udara dan merokok.

Dalam penegakan diagnosis dari pemeriksaan lab, kultur flora nasal tidak perlu dilakukan karena tidak memiliki nilai diagnostik (rongga sinus bersifat steril dan rongga hidung penuh flora normal). Namun swab hidung berguna untuk melihat adanya eosinofil untuk mengetahui kemungkinan alergi. Jika memang alergi, perlu ditelusuri alergennya. Pemeriksaan darah perifer lengkap juga tidak terlalu bermakna, kecuali pasien demam. Pada kasus yang parah, kultur darah dapat bermanfaat untuk mengetahui adanya jamur atau untuk pemeriksaan HIV (jika diperlukan).

Penegakan diagnosis sinusitis kronik yang terbaik ialah dengan menggunakan pencitraan radiologis. Rontgen thorax yang biasa dapat menunjukkan penebalan mukosa sebagai tanda sinusitis. Ketinggian fluida udara jarang ditemui di kasus sinusitis kronis. Ditambah lagi, pemeriksaan ini tidak mampu menggambarkan sinus yang lebih dalam, misalnya sinus etmoid dan kompleks osteomeatal.

Pemeriksaan yang baik ialah dengan CT-scan sinus. CT terpaksa dikerjakan kalau pasien dirasa tidak respon terhadap terapi atau sebagai persiapan operasi. CT Scan koronal dapat menggambarkan posisi anatomis dengan baik untuk persiapan operasi. Dengan CT Scan juga dapat terlihat letak-letak obstruksi secara tajam dan akurat. CT scan bahkan mampu mendeteksi entitas spesifik dalam hidung semacam aspegilloma. Sedangkan kerabatnya, MRI, tidak terlalu sering dilakukan karena mahal. Namun sebenarnya MRI baik untuk melihat kontras jaringan lunak serta mendeteksi massa seperti neoplasma, komplikasi kranial dan intraorbital, serta sinusitis akibat jamur.
Berbagai Pendekatan

Kalau sudah kronis, cara terbaik sebenarnya ialah lakukan operasi. Namun pengobatan medikamentosa diberikan juga untuk menurunkan faktor predisposisi, mengobati serangan infeksi berulang, mengurangi edema jaringan sinus, serta memfasilitasi drainase sekresi sinus. Secara umum, obat yang diberikan berupa antibiotak oral untuk menghilangkan sisa-sisa pertumbuhan bakteri, dekongestan untuk konstriksi pembuluh darah mukosa, serta kortikosteroid topikal bagi penderita sinusitis dengan rhinitis alergi, polip nasal, dan rinitis medikamentosa. Pasien alergi juga dapat diberika stabilizer sel Mast (golongan kromolin). Nasal spray dapat membantu melembabkan sekresi yang kering, mengurangi edema mukosa, serta mengurangi viskositas mukus. Meski tidak ada evidence-based data, literatur menyebutkan ekspektoran dapat digunakan (Guaifenesin) untuk mengurangi gejala klinis sinusitis kronis.

Dibutuhkan banyak pendekatan medis untuk mengontrol atau memodifikasi penanganan sinusitis kronik. Infeksi saluran pernapasan atas memegang kunci timbulnya sinusitis, dari yang akut hingga menjadi kronis. Karenanya, pasien terutama anak-anak, mesti dididik untuk menjaga kesehatan, rajin berolah raga, dan biasakan makan sayur atau buah. Akan lebih baik lagi jika mampu menghindarkan diri dari debu-debu, asap rokok, serta iritan kimia lingkungan lainnya. Pemberian antihistamin, kromolin, steroid topikal, atau imunoterapi mungkin perlu untuk mencegah timbulnya rhinitis alergi, lagi-lagi terutama pada anak-anak. Pencegahan GERD dapat bermanfaat untuk mencegah eksaserbasi penyakit saluran napas dan saluran cerna, semisal asma dan sinusitis kronik. Siapa tahu ada pasien juga dengan status imunodefisiensi, maka perlu diberikan terapi peningkatan status imun agar kondisi sinusitis kroniknya dapat membaik.

Gejala-gejala superfisial sinusitis, biasanya berupa pilek yang tak sembuh-sembuh, pada prinsipnya dapat dikurangi dengan dekongestan, steroid topikal, antibiotik, irigasi salin normal ke hidung, kromolin tropikal, atau mukolitik. Semua obat ini tidak menyembuhkan, tapi dapat membantu memotivasi pasien untuk bisa sembuh. Agar cepat reda, kelembaban sekresi mukus dari sinus harus tetap dijaga, edema mukosa mesti dikurangi, serta viskoditas mukus sebaiknya dikurangi.

Untuk terapi pembedahan, prosedurnya dinamakan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). FESS mampu menghilangkan penyakit dengan cara mengembalikan aerasi dan drainase yang adekuat pada pasien, menguatkan komplek osteomeatal, namun tidak meninggalkan jejas dan rasa tidak nyaman dalam bernapas. FESS mampu mengembalikan kesehatan sinus dengan gejala kekambuhan kurang dari 10% pasien. Setelah itu, pasien mesti dilanjutkan dengan terapi medis berkelanjutan dan pemantauan yang baik. (Farid)





Sinusitis sering didahului oleh rhinitis alergi dan jarang sekali yang terjadi tanpa berbarengan.

Sebut saja Nia (24 tahun), lagi-lagi hari ini ia tak bisa masuk kantor. Sudah hampir seminggu hidungnya meler terus, kepalanya pusing, tenggorokannya sakit, dan juga batuk-batuk. Semula Nia tak begitu mengacuhkan penyakitnya. "Ah..paling juga rhinitis alergi saya kambuh lagi. Cukup pake inhaler dan minum antihistamin, ntar juga baikan lagi," ujarnya santai .

Tapi keesokan harinya, Nia tak bisa santai lagi. Ketika bangun tidur di pagi hari, kepalanya berat sekali, napasnya sesak dan tersengal-sengal. Dia akhirnya memutuskan pergi ke dokter. Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata Nia divonis menderita sinusitis.

Sinusitis, seperti yang dialami oleh Nia, memang banyak berangkat dari rhinitis alergi. Tak ayal, jika akhirnya lahir istilah rhinosinusitis. Studi terkini yang dilakukan oleh pakar bedah THT-KL, mendefinisikan hubungan rhinitis dan sinusitis secara lebih baik. Mereka menyimpulkan, sinusitis sering didahului oleh rhinitis dan jarang sekali yang terjadi tanpa berbarengan dengan rhinitis.

Hal tersebut diduga terjadi karena adanya inter-relationship antara hidung dan sinus passages. Temuan computed tomography (CT scan) yang memperlihatkan, lapisan mukosa hidung dan sinus secara simultan terlibat dalam timbulnya gejala flu biasa. Mekanisme hubungan rhinitis alergi dan sinusitis diperkirakan melibatkan penyumbatan aliran sinus nasal, diikuti dengan kolonisasi bakteri, dan infeksi yang mengarah pada sinusitis akut, berulang, atau kronik.

Penelitian medis lainnya yang juga mendukung hubungan keduanya, adalah studi retrospektif abnormalitas sinus pada 1120 pasien (usia 2-87 tahun). Hasil studi menunjukkan, penebalan mukosa sinus lebih umum dijumpai pada pasien selama Juli, Agustus, September, dan Desember, bulan-bulan di mana banyak terdapat alergen. Suatu review pada pasien menjalani bedah untuk mengobati kondisi sinus kronik menunjukkan, pasien dengan alergi musiman dan polip hidung tampak lebih cenderung mengalami pengulangan sinusitis.

Menurut Dr.Damayanti Soetjipto, SpTHT, dari subbagian Rhinologi Departemen THT FKUI RSCM, rhinosinusitis merupakan penyakit pernafasan atas yang kerap dijumpai dan insidennya lumayan tinggi. "Baru-baru ini dilaporkan, rhinosinusitis telah menjadi beban sosioekonomi di banyak negara. Di samping itu, penyakit ini bisa mengurangi kualitas hidup dan produktivitas seseorang secara signifikan," tegasnya pada acara Jakarta Alergy and Clinical Immunology Asia Pasific Association of Pediatric Allergy, Respirology and Immunology (JACI-APAPARI) joint meeting 2006 di Hotel Borobudur, 21-23 April 2006.

Lebih lanjut wanita yang pernah menjabat posisi tertinggi di Perhimpunan Ahli Telinga Hidung dan Tenggorok (PERHATI)ini mengatakan,pada rhinosinusitis kronik, infeksi bakteri bukanlah faktor kausatif utama. Faktor kausatif yang lebih penting adalah kondisi alergi, perbedaan anatomi atau abnormalitas, dan penyakit mukosa intrinsik. "Tapi di era milenium ini, berbagai paradigma baru telah dievaluasi. Misalnya saja, Allergic Fungal Sinusitis (AFS), fungal sinusitis, polusi dan lingkungan, sinusitis karena narkotik dan HIV dan sinusitis akibat gastro-esophageal reflux disease (GERD)."

Untuk melihat abnormalitas tersebut perlu dilakukan pemeriksaan dengan Naso-endoscopy (NE). Di samping lebih akurat, NE juga bisa mendiagnosa penyakit lebih dini. Penyakit yang tak bisa dilihat dari pemeriksaan rhinoscopy anterior bisa didiagnosa dengan NE. "Ketidaknormalan anatomis seperti concha bullosa, protuding uncinate process, enlarged ethmoid bulla, dislokasi lateral middle turbinate dan penyakit semisal polip di tengah meatus dan banyak kondisi lainnya yang hanya bisa dilihat dengan pemeriksaan ini," kata Damayanti lagi.

Tatalaksana dari sinusitis kronik tergantung pada penyebabnya, tapi sebagian besar butuh tindakan operasi untuk menghilangkan penyakit dan memperbaiki mucocilliary transport. Dan prosedur operasi terkini yang digunakan adalah Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Prosedur ini jika sesuai dengan indikasi akan mampu menyembuhkan penyakit dan mengembalikan nature drainage dan ventilasi sinus.

kupu-kupu

Kupu-Kupu Tidur

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku

1


padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota .

Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana , Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota , sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.


Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.

Malam-Malam Nina

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku.

Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.


Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga


sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India . Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.

Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.

Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"

"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.

"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?

"Kamu mencintainya, Nina?"