Prisma Natsir dan Ketidakadilan Sejarah
Katagori : Sejarah
Oleh : Redaksi 19 Jul 2003 - 1:25 pm
(Mengenang 95 Tahun Mohammad Natsir)
Oleh : Israr
Di era reformasi, sejumlah kalangan sejarawan dan intelektual kembali
mengingatkan perihal kecenderungan bangsa
dendam sejarah. Pemupukan dan pewarisan dendam sejarah itu dianggap
berbahaya, karena anak bangsa atau generasi penerus tidak akan pernah
dapat memetik hikmah dan kearifan dari peristiwa masa lalu untuk
kegunaan masa kini dan masa depan.
Karena itu, "rekonsiliasi sejarah" mendesak untuk dilakukan oleh
bangsa
bangsa mesti dapat melihat kembali sejarah bangsanya secara jernih,
jujur, adil, dan objektif, sesuai dengan "standar" akademis. Usaha itu
pertama-tama tentu dapat dilakukan melalui rekonstruksi sejarah yang
selama ini dianggap lebih banyak menurut selera penguasa. Ikhtiar lain
berupa penghargaan yang proporsional terhadap tokoh-tokoh pelaku
sejarah yang telah berjasa kepada bangsa dan kemanusiaan.
Mohammad Natsir (1908-1993) adalah salah satu founding father Republik
layak dari bangsanya sendiri. Dalam sejarah nasional posisinya pun
masih "kabur". Keadaan itu telah berlangsung sejak era Orde Baru dan
berlanjut hingga era reformasi ini.
Padahal jasa-jasa mantan Perdana
kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara. Pada
momentum 95 tahun Mohammad Natsir sekarang ini, ada baiknya wacana
kesadaran historis itu digugah kembali, agar anak-anak bangsa dapat
memetik hikmah dan kearifan dari sejarah.
Berdasarkan beberapa literatur sejarah, sulit dipungkiri bahwa sosok
Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli
1908 dan wafat di Jakarta, 16 Februari 1993 nampak ibarat sebuah
prisma. Banyak segi dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang
yang digelutinya, dia selalu tampil di garda depan. Sebagai politisi,
ia pernah sampai ke puncak: ketua umum Partai Masyumi, partai politik
Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama setelah kembali ke
negara kesatuan (1950-1951).
Sebagai ulama, ia merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah
intelektual, Natsir mungkin seorang ulul-albab: tidak sekadar punya
wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh keprihatinan, memikirkan,
dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi
bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal
sebagai pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun,
jujur, demokratis, dan moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar
hal-hal yang dinilainya sebagai prinsip.
Namun citra positif Natsir tersebut agaknya perlu disosialisasikan
lebih lanjut kepada generasi sekarang dan masa depan. Bagi mereka,
seperti disinggung di muka, Natsir barangkali sudah menjadi sebuah
gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di
sekolah-sekolah, nama Natsir mungkin terletak di lembaran hitam atau
paling tidak kelabu.
Natsir kira-kira diasosiasikan dengan tokoh ekstrem, fundamentalis,
dan sejenisnya - seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka. Di
samping itu, Natsir juga tergambar "kritis" terhadap idiologi
Pancasila, karena dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, ia
merupakan tokoh nomor satu yang memperjuangkan dasar negara Islam.
Natsir bahkan kemudian dicitrakan sebagai "pemberontak" , lantaran di
akhir tahun 1950-an ia "bergabung" dengan gerakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI sendiri tak bisa
serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik setting
sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan
tiap tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui
"bergabung" dengan PRRI lebih belakangan.
Ia semula di
antek-antek PKI, ia bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya terpaksa
meninggalkan Ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan Natsir,
seperti dituturkan Kahin dan Kahin (1997:162), sebenarnya tidak banyak
ikut serta dalam proses gerakan yang berujung "perang saudara" itu.
Satu hal penting lagi: Natsir menolak cara-cara konfrontasi untuk
menekan
Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia, di antara tokoh-tokoh
nasional masa lalu juga memiliki "dosa-dosa politik". Sebutlah nama
Sukarno, proklamator dan
memiliki "dosa-dosa politik", antara lain karena telah mengeluarkan
Dekrit Presiden 1959 yang "melegalisasi" pembubaran Konstituante hasil
Pemilu 1955, memberi ruang hidup kepada PKI, serta memaklumkan
Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan KSAD, juga dianggap
punya dosa-dosa politik, karena ia dinilai telah "mendorong" dan
mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.
Seiring perjalanan waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian
menerima perlakuan tidak pantas dari rezim berkuasa. Sebagian di
antara mereka telah mengalami nasib tragis sejak masa Demokrasi
Terpimpin, khususnya yang "terlibat" PRRI/Permesta atau para penentang
rezim otoriter itu.
Di samping Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan
Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu
"arsitek" PRRI, serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola
perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya. Bahkan
di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga mengalami perlakuan yang tragis
secara personal maupun peran kesejarahannya.
Tetapi seburuk-buruk nasib Sjahrir, ia masih lebih beruntung
dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai pengkhianat negara selama tiga
tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966, tokoh sosialis ini
langsung dianugerahi Pahlawan Nasional.
Sedangkan Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim
Soeharto, nasibnya kelak masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir.
Berbagai atribut dan penghormatan, seperti Pahlawan Nasional telah
disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan nasional itu tercermin
dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno (2001).
Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi.
Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya
sebagai "pemberontak" terhadap Republik tidak pernah secara resmi
direhabilitasi pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain
bersama Sumitro, seakan-akan tetap dianggap sebagai "dosa-dosa
politik" yang tak terampunkan.
Dalam konteks ini, nasib Natsir (plus Sjafruddin Prawiranegara dan
Burhanuddin Harahap) lagi-lagi tidak lebih baik dibandingkan Sumitro.
Buktinya, sejak era Orde Baru, citra sebagai "pemberontak" seakan-akan
tidak lagi melekat pada sang "begawan ekonom" itu.
Sebetulnya upaya mendesak pemerintah merehabilitasi nama Natsir cs
telah dilakukan sejak masa Orde Baru, tapi selalu gagal. Bahkan yang
diterima Natsir bukannya rehabilitasi nama baik, tetapi justru
pelbagai kesulitan pribadi dan kelembagaan. Soeharto memang tidak
seperti Sukarno yang pernah memenjara Natsir selama tiga tahun tetapi
rezim militeristik ini telah pula memperlakukan Natsir secara tidak
adil.
Di antaranya pencekalan ke luar negeri. Ini kondisi yang ironis
sekali. Padahal di luar negeri kredibilitasnya dihormati. Posisi
Natsir sebagai salah satu pemimpin terkemuka dunia Islam cukup
mengharumkan nama bangsa. Tidak hanya itu, di belakang layar, Natsir
sebenarnya berjasa membantu pemerintah Orde Baru menjalin kontak
dengan beberapa negara donatur, seperti Jepang dan negara-negara Timur
Tengah.
Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan
pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena Natsir tokoh pelopor Mosi
Integral yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara
kesatuan diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin
Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.
Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga tokoh
Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud.
Sampai pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan
Megawati sekarang ini, usulan itu kembali tenggelam dalam hiruk-pikuk
situasi politik nasional.
Pada akhirnya, berbicara sejarah semestinya juga berbicara masalah
keadilan. Diakui, sebagai manusia, tokoh-tokoh besar bangsa di masa
lalu tentu juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Maka, ketika
beberapa tokoh sejarah nasional yang juga pernah memiliki "dosa-dosa
politik" dengan mudah direhabilitasi nama baiknya dan dianugerahi
gelar pahlawan, kenapa ada tokoh yang lain diperlakukan tidak sama.
Diktum bahwa "sejarah dikuasai oleh mereka yang berkuasa", agaknya
kurang cocok dalam semangat "rekonsiliasi" yang banyak dianjurkan
kalangan cendekiawan dewasa ini. Diktum itu harus ditinggalkan, agar
sejarah tidak lagi mewariskan dendam, melainkan memberikan hikmah dan
kearifan kepada kita bagi masa depan bangsa.
Peneliti sejarah dan politik CIRUS, Jakarta
Republika
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar